Indonesian Culture

Jumat, 03 Desember 2010

Jakarta Fashion Week 2010 Batik edition


 Jelajah Nusantara Batik 118 by Dee Ong

Menampilkan karyanya di Jakarta Fashion Week 2010-2011 merupakan debut desainer yang bernama lengkap Diana Safitri atau biasa menyebut diri Dee Ong ini. Batik 118 by Dee Ong menampilkan gaun-gaun batik yang mempunyai ciri khas kombinasi seni bordir dan aksesori payet dan batu alam.

Koleksi Batik 118 yang ditampilkan kali ini terinspirasi dari keindahan budaya Nusantara, dengan menggelar 33 gaun dari 33 provinsi di Indonesia. Mengambil tema “The Power of Batik”, gaun-gaun ini dirancang khusus dengan menggunakan kain batik handmade yang dibuat dengan menggunakan media batik tulis dan cap. Keseluruhan koleksi menggunakan bahan sutra Cina dan memiliki keunikan berupa motif-motif Nusantara yang bercirikan masing-masing provinsi.

Fashion Show terbagi dalam empat sekuel. Sekuel pertama menampilkan gaun batik dari sejumlah provinsi di Sumatra dan Kepulauan Riau, menggunakan motif bunga, unggas dan ceplok geometris. Sekuel kedua menampilkan gaun batik dari pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Sekuel ketiga menampilkan gaun batik yang banyak menggunakan motif Tumpal di atas kain-kain khas Kalimantan. Juga motif burung dan bunga seperti yang terdapat padai ornamen rumah adat Kalimantan. Sekuel keempat menampilkan gaun batik dari  Sulawesi, Maluku dan Papua. Dari  Sulawesi dipakai motif geometris Kawung.

Keseluruhan penampilan gaun Batik 118 kali ini terlihat simple namun terasa romantis dan elegan. Gaun-gaun panjang yang anggun dengan buntut menjuntai ke bawah dan juga beberapa koleksi gaun cocktail yang lebih ringan dan dihiasi dengan payet emas cantik serta untaian mutiara, terlihat effortless dan memesona.

Dee Ong memang mengaku sangat mencintai Indonesia, dan meskipun tidak mendalami pendidikan formal fashion, dia sangat tertarik pada keindahan kain batik. Ketertarikannya ini dipadu dengan kesukaannya travelling mengelilingi kepulauan Indonesia, sehingga mempermudahnya untuk mendalami keindahan budaya Indonesia dan menampilkannya dalam motif-motif kain batik kreasinya.

SEBASTIAN GUNAWAN
 

 

Jakarta Fashion Week 2010/2011 Day 3: Beautiful Indonesia on Batik


Terinspirasi oleh kekayaan budaya Indonesia, "The Power of Indonesian Batik" menjadi tema yang diusung oleh desainer Dee Ong dalam koleksi Batik 118nya dalam JFW 2010/2011 kali ini. Koleksi gaun-gaun batik oleh Dee Ong terbuat dari bahan sutera Cina yang diproses dengan membatik tulis, cap, maupun kombinasi. Selain itu, koleksi Batik 118 juga diperkaya dengan bordir serta hiasan payet dan batu alam sehingga menambah nilai estetika di setiap piece karyanya.

Fashion show terbagi dalam empat sesi. Sesi pertama menampilkan gaun batik dari Sumatera dengan ciri khas motif unggas dan bunga. Sesi kedua menampilkan batik dari Jawa dan Nusa Tenggara. Sesi ketiga dari Kalimantan dengan motif burung dan ornamen rumah adat setempat. Diakhiri dengan gaun batik dari Sulawesi, Maluku, dan Papua. Setiap koleksi yang ditampilkan per sesi menonjolkan ciri khas motif batik daerah masing-masing, seperti melihat Indonesia dalam batik!

These 4 gowns are my favourites!


Koleksi yang ditampilkan pun tergolong ready to wear dan bervariasi, baik cocktail dress maupun long dress. Potongan dress pun sederhana dan tidak terlalu rumit, namun tetap terlihat cantik karena motif batik yang ada sudah sangat glamor. Bravo untuk Dee Ong yang walaupun tidak pernah menjalani pendidikan formal dalam bidang fashion namun mampu menampilkan karya yang terlihat cantik tanpa harus terlihat berlebihan!

Jangan lupa bahwa ternyata ada karya finale dari Dee Ong berupa gaun kombinasi brokat, renda, dan payet indah berwarna putih yang sangat menawan. I really adore this! Gaun berbuntut ini benar-benar indah walau tanpa unsur batik sekalipun.


Untuk yang ingin 'mengintip' karya Dee Ong lain, just scroll down your mouse. :)





And here is the talented Dee Ong aka Diana Savitri at the end of her show!

Untuk hari ketiga jfw 2010/2011, memang bisa dikatakan bahwa inilah harinya Batik dan Tenun. Selain Dee Ong, ada Dekranasda Show dan Cita Swarna Bumi Sriwijaya  yang menampilkan beragam karya batik dan kain tenun. Sesuai tema JFW tahun ini: Styling Modernity, menurut saya show hari ini sangat mewakili tema. Hal ini karena dengan memakai kain tradisional, karya-karya desainer yang tampil tetap terlihat chic dan modern, bahkan jauh dari kesan kuno dan ketinggalan jaman. Dan tentunya, membuat kita sebagai warga Indonesia bangga akan kekayaan budaya yang berlimpah dan terus berupaya menjaga kelestariannya, salah satunya dengan event seperti Jakarta Fashion Week.
 
 
 

Tenun’ reigns at fashion week

Triwik Kurniasari, The Jakarta Post, Jakarta | Sun, 11/14/2010 11:13 AM | Lifestyle
A | A | A |
Hengky Kawilarang. -- JP/P.J. LeoHengky Kawilarang. -- JP/P.J. Leo
Veteran fashion designers and newcomers get together here showcasing their alluring works at the Jakarta Fashion Week (JFW), an event which is slowly attracting bigger crowds.
The catwalks at the fashion week 2010/2011 have seen a growing interest in local textiles and accessories as designers have showcased the beauty of locally-made garments through some astonishing creations.
After a fiesta of kebaya creations at “The Tribute to Kebaya” opening show last weekend, the fashion week offered another treat on day two when designer Oscar Lawalata showed off his gifted skills through his “Weaving the Future” collection – a collaborative work with British designer Laura Miles.
Both designers focused more on various handwoven silk creations as well as traditional fabrics from the eastern parts of Indonesia.
For their collaboration, the two designers spent 10 days in West Java’s Garut regency to learn more about the making of handwoven silk tenun before heading to East Nusa Tenggara to do some research on local fabrics.
Their show was followed with Billy Tjong’s latest designs titled “Ghetto Vibes”, inspired by hip-hop R&B styles, ranging from jumpsuits, shirts and miniskirts.
While batik re-ceived wide exposure in last year’s Jakarta Fashion Week, tenun (traditional woven cloth) had its turn in this year’s event.
On day three, a number of designers showed their prowess in turning traditional textiles from South Sumatra, such as songket Palembang and tenun blongsong into modern yet stylish outfits in a show segment called “Cita Tenun Indonesia: Cita Swarna Bumi Sriwijaya”.
Some of the designers participating in the show included Denny Wirawan, Luwi Saluadji, Oka Diputra and Priyo Oktaviano.
Designers from the Indonesian Fashion Designers Association (APPMI ) showcased their creations on day four and five. Hengky Kawilarang showcased some unique Borneo fabrics for his collection entitled “Wild Romance”, combining tule and some accents of ruffles and stony details, while Susan Zhuang took fashion lovers back to the past with a number of wide shaped dresses that were very popular in style in the 1950s and 1960s, but with some touches of batik and tenun.
Lenny Agustin, meanwhile, had her chance to showcase her two brands: WAW (What Are you Wearing), which consisted of t-shirts, polo shirts, jackets and sweaters, and the Lennor batik-inspired clothing line.
Ghea S. Panggabean accentuates her modern kebaya with tenun woven fabric in a special show to celebrate her 30-year journey in the country’s fashion industry. JP/P.J. LeoGhea S. Panggabean accentuates her modern kebaya with tenun woven fabric in a special show to celebrate her 30-year journey in the country’s fashion industry. JP/P.J. Leo
This year also marked Ghea Panggabean’s journey through the fashion industry and she shared her magic moments with the town’s fashionistas by showing off her collections, which reflected her 30 years experience in the business.
Meantime, 10 designers of the Indonesian Fashion Designers Council (IPMI) took their turns on day six to take the stage. Stephanus Hamy tried to popularize the Javanese traditional fabric gendongan and designed it into something light and edgy while Tuty Cholid played with tenun rang rang from Nusa Penida in the southeast of Bali and ikat Cepuk.
And just like the two previous years, Muslim wear also appeared in this year’s event. Local brand Up2Date, which comes up with ready-to-wear concepts, displayed 65 outfits themed “Replayshion”.
The designs were asymmetric, deconstructive with tie and dye details in monochrome colors.
The brand has gained a good reputation in international level as it has already staged shows in Malaysia, Australia and New Zealand.
This JFW also gave a chance for local celebrities to showcase their very own labels on the runway.
Joining the show were MTV’s VJ Daniel Mananta with his famous clothing line Damn! I Love Indonesia, models Indah Kalalo and Fabiola with Flirt with sexy yet glamorous evening dresses, and TV presenter Marrisa Nasution with her shoes from Dollhouse.

Kamis, 11 November 2010

Batik is Trully from Indonesia

Here i am will pleasent to introduce you one of many the cultural heritage that we called Batik that lately our neighbour country Malaysia was claimed Batik is from Malaysia! But Wait.. STOP here… it was wrong! Malaysia can claimed it but the Trully BATIK is from INDONESIA.
 

Although the process of decorating cloth through the process of batik is found in several regions in Africa or India and even in some South East Asian countries, the batik of Indonesia is unique and unequaled.

Indonesian Batik is made in several regions, but the center of the art is Central Java, in cities like Yogyakarta, Solo, Cirebon, Pekalongan and Indramayu.

The pride of Indonesians to wear batik till the present day has preserve this art of textile.
The beauty of Batik is a tribute to the patience, creativity of the woman of Java, the main island of Indonesia. Credit should be also given to men who prepare the cloth and handle the dyeing and finishing process.
Batik is generally thought of as the most quintessentially Indonesian textile. Motifs of flowers, twinning plants, leaves buds, flowers, birds, butterflies, fish, insects and geometric forms are rich in symbolic association and variety; there are about three thousand recorded batik patterns.

The patterns to be dyed into the the clothe are drawn with a canting, a wooden ‘pen’ fitted with a reservoir for hot, liquid wax. In batik workshops, circles of women sit working at clothes draped over frames, and periodically replenish their supply of wax by dipping their canting into a central vat. Some draw directly on the the cloth from memory; others wax over faint charcoal lines.
Batik goes to Hollywood
                                                                                             

Senin, 08 November 2010

Equipment for Making Traditional Batik

Peralatan Membatik

a. Canting
Canting merupakan alat utama yang dipergunakan untuk membatik.
Penggunaan canting adalah untuk menorehkan (melukiskan) cairan malam agar terbentuk motif batik. Canting memiliki beberapa bagian yaitu:

Gagang
Gagang merupakan bagian canting yang berfungsi sebagai pegangan pembatik pada saat menggunakan canting untuk mengambil cairan malam dari wajan, dan menorehkan (melukiskan) cairan malam pada kain. Gagang biasanya terbuat dari kayu ringan.

Nyamplung (tangki kecil)
Nyamplung merupakan bgian canting yang berfungsi sebagai wadah cairan malam pada saat proses membatik. Nyamplung terbuat dari tembaga.

Cucuk atau carat
Cucuk merupakan bagian ujung canting dan memiliki lubang sebagai saluran cairan malam dari nyamplung. Ukuran dan jumlah cucuk can beragam tergantung jenisnya. Cucuk tersebut terbuat dari tembaga.
                               
                                           

b. Kuas
Pada umumnya kuas dipergunakan untuk melukis, dalam proses membatik kuas juga dapat dipergunakan untuk Nonyoki yaitu mengisi bidang motif luas dengan malam secara penuh. Kuas dapat juga untuk menggores secara ekspresif dalam mewarnai kain. Anda dapat mempergunakan kuas cat minyak, kuas cat air, atau bahkan kuas cat tembok untuk bidang sangat luas. 

                                     


c.Anglo 
Pembatik tradisional biasanya menggunakan anglo atau keren. Anglo merupakan arang katu sebagai bahan bakar. Kelemahan anglo/keren adalah asap yang ditimbulkannya berbeda dengan kompor yang tidak seberapa menimbulkan asap.

                                   


d. Wajan
Wadah untuk mencairkan malam menggunakan wajan, terbuat dari bahan logam. Pilihlah wajan yang memiliki tangkai lengkap kanan dan kiri agar memudahkan kita mengangkatnya dari dan ke atas kompor. Wajan yang dipakai tidak perlu berukuran besar, wajan dengan diameter kurang lebih 15 cm sudah cukup memadai untuk tempat pencairan malam.

                                                                 


e.Gawangan
Pada waktu membatik kain panjang, tidak mungkin tangan kiri pembatik memegangi kain tersebut. Untuk itu membutuhkan media untuk membentangkan kain tersebut, yang disebut gawangan. Disebut demikian karena bentuknya seperti gawang sepakbola, terbuat dari kayu, agar ringan dan mudah diangkat dan dipindahkan.

                                            


f. Nampan
Nampan plastik diperlukan untuk tempat cairan campuran pewarna dan mencelup kain dalam proses pewarnaan. Pilihlah ukuran nampan yang sesuai dengan ukuran kain yang dibatik agar kain benar-benar tercelup semuanya.


 



g. Panci
Panci aluminium diperlukan untuk memanaskan air di atas kompor atau tungku dan untuk melorot kain setelah diwarnai agar malam bisa bersih.
Pilihlah ukuran panci sesuai dengan ukuran kain yang dibatik.

                                                 


h. Sarung tangan
Sarung tangan diperlukan sebagai pelindung tangan pada saat mencampur bahan pewarna dan mencelupkan kain ke dalam cairan pewarna. Selama penyiapan warna dan pewarnaan kain, pergunakanlah selalu sarung tangan karena bahan pewarna batik terbuat dari bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan kulit dan pernafasan, kecuali pewarna alami (natural). 

                                                    


i. Sendok & Mangkuk
Sendok makan dibutuhkan untuk menakar zat pewarna dan mangkuk plastik untuk mencampur zat pewarna tersebut sebelum dimasukkan ke dalam air. Selain itu juga diperlukan gelas untuk menakar air.

                                         

 
j. Mori
Adalah bahan baku batik dari katun. Kwalitet mori bermacam-macam, dan jenisnya sangat menentukan baik buruknya kain batik yang dihasilkan. Karena kebutuhan mori dari macam-macam kain tidak sama

                                    
 

Sabtu, 06 November 2010

Jenis Batik Menurut Teknik Pembuatannya

Menurut teknik

  • Batik tulis adalah kain yang dihias dengan teksture dan corak batik menggunakan tangan. Pembuatan batik jenis ini memakan waktu kurang lebih 2-3 bulan.

  • Batik cap adalah kain yang dihias dengan teksture dan corak batik yang dibentuk dengan cap ( biasanya terbuat dari tembaga). Proses pembuatan batik jenis ini membutuhkan waktu kurang lebih 2-3 hari. 

Perbedaan batik tulis dan batik cap bisa dilihat dari beberapa hal sbb:

Batik Tulis
Batik Tulis
Batik Tulis
  1. Dikerjakan dengan menggunakan canting yaitu alat yang terbuat dari tembaga yang dibentuk bisa menampung malam (lilin batik) dengan memiliki ujung berupa saluran/pipa kecil untuk keluarnya malam dalam membentuk gambar awal pada permukaan kain.
  2. Bentuk gambar/desain pada batik tulis tidak ada pengulangan yang jelas, sehingga gambar nampak bisa lebih luwes dengan ukuran garis motif yang relatif bisa lebih kecil dibandingkan dengan batik cap.
  3. Gambar batik tulis bisa dilihat pada kedua sisi kain nampak lebih rata (tembus bolak-balik) khusus bagi batik tulis yang halus.
  4. Warna dasar kain biasanya lebih muda dibandingkan dengan warna pada goresan motif (batik tulis putihan/tembokan).
  5. Setiap potongan gambar (ragam hias) yang diulang pada lembar kain biasanya tidak akan pernah sama bentuk dan ukurannya. Berbeda dengan batik cap yang kemungkinannya bisa sama persis antara gambar yang satu dengan gambar lainnya.
  6. Waktu yang dibutuhkan untuk pembuatan batik tulis relatif lebih lama (2 atau 3 kali lebih lama) dibandingkan dengan pembuatan batik cap. Pengerjaan batik tulis yang halus bisa memakan waktu 3 hingga 6 bulan lamanya.
  7. Alat kerja berupa canting 
  8. Harga jual batik tulis relatif lebih mahal, dikarenakan dari sisi kualitas biasanya lebih bagus, mewah dan unik.
Pembuatan Batik Tulis
    Batik Cap

    Batik Cap
    1. Dikerjakan dengan menggunakan cap (alat yang terbuat dari tembaga yang dibentuk sesuai dengan gambar atau motif yang dikehendaki). Untuk pembuatan satu gagang cap batik dengan dimensi panjang dan lebar : 20 cm X 20 cm dibutuhkan waktu rata-rata 2 minggu.
    2. Bentuk gambar/desain pada batik cap selalu ada pengulangan yang jelas, sehingga gambar nampak berulang dengan bentuk yang sama, dengan ukuran garis motif relatif lebih besar dibandingkan dengan batik tulis.
    3. Gambar batik cap biasanya tidak tembus pada kedua sisi kain.
    4. Warna dasar kain biasanya lebih tua dibandingkan dengan warna pada goresan motifnya. Hal ini disebabkan batik cap tidak melakukan penutupan pada bagian dasar motif yang lebih rumit seperti halnya yang biasa dilakukan pada proses batik tulis. Korelasinya yaitu dengan mengejar harga jual yang lebih murah dan waktu produksi yang lebih cepat. Waktu yang dibutuhkan untuk sehelai kain batik cap berkisar 1 hingga 3 minggu.
    5. Untuk membuat batik cap yang beragam motif, maka diperlukan banyak cap. Sementara harga cap batik relatif lebih mahal dari canting.
    6. Jangka waktu pemakaian cap batik dalam kondisi yang baik bisa mencapai 5 tahun hingga 10 tahun, dengan catatan tidak rusak. Pengulangan cap batik tembaga untuk pemakainnya hampir tidak terbatas.
    7. Harga jual batik cap relatif lebih murah dibandingkan dengan batik tulis, dikarenakan biasanya jumlahnya banyak dan miliki kesamaan satu dan lainnya tidak unik, tidak istimewa dan kurang eksklusif.
    Pembuatan batik cap
      Disamping adanya perbedaan dari sisi visual antara batik tulis dan batik cap, namun dari sisi produksi ada beberapa kesamaan yang harus dilalui dalam pengerjaan keduanya. Diantaranya adalah sbb:
      • Keduanya sama-sama bisa dikatakan kain batik, dikarenakan dikerjakan dengan menggunakan bahan lilin sebagai media perintang warna.
      • Dikerjakan hampir oleh tangan manusia untuk membuat gambar dan proses pengerjaan buka tutup warnanya.
      • Bahan yang digunakannya juga sama berupa bahan dasar kain yang berwarna putih, dan tidak harus dibedakan jenis bahan dasar benangnya (katun atau sutra) atau bentuk tenunannya.
      • Penggunaan bahan-bahan pewarna serta memproses warnanya sama, tidak ada perbedaan anatara batik tulis dan batik cap.
      • Cara menentukan lay-out atau patron dan juga bentuk-bentuk motif boleh sama diantara keduanya. Sehingga ketika keduanya dijahit untuk dibuat busana tidak ada perbedaan bagi perancang busana atau penjahitnya. Yang membedakan hanya kualitas gambarnya saja.
      • Cara merawat kain batik (menyimpan, menyuci dan menggunakannya) sama sekali tidak ada perbedaan.
      • Untuk membuat keduanya diperlukan gambar awal atau sket dasar untuk memudahkan dan mengetahui bentuk motif yang akan terjadi.

      Jumat, 05 November 2010

      Fashion Show

      Dries Van Noten is a renowned fashion designer from Belgium who had a career of more than 20 years, and his work to fill more than 500 stores around the world.

      And that is proud, in the latest Paris Fashion Show Spring 2010 collection, you know what part of the inspiration Dries Van Noten? Yes, Batik!! Please see her photos below, although combined
      with other elements, but his batik accent is so strong. Even Dries Van Noten reportedly taken directly from Indonesian batik.

      How To Make Batik





    1. Batiking is a very old art form from Indonesia, South Eastern Asia, that consists of wax painting and fabric dying in order to create beautiful and lasting designs that can be worn, hung on the wall, or used for pillowcases and sheets. It can be used on duvet patterns.


      Steps

      1. Select the cloth you wish to use (silk, muslin, or cotton work best) and wash the cloth to remove any residues. Dry and iron the cloth.

      1. Decide on your design and trace it onto the fabric with a pencil. Alternatively, you can freehand something or make an abstract design, it is up to you. 

      1. Place wax paper underneath the fabric so the fabric will not stick to the surface you are working on. Decide what color dye you first want to use and then wax off all the parts that you do not want to be that color. 

      1. After all parts are waxed that you do not want dyed you should allow the wax to dry on the fabric, you can speed up this process in the freezer

      1. After the wax has dried, you can create the "crackle" effect on the fabric by balling up the fabric to create cracks in the wax. Those sections will have veins of the color in them that would otherwise have not been there.

      1. Make your dyebath in a pot or bowl according to the directions of your dye. Put the fabric in the dye bath for approximately 30 minutes - this also depends on the directions for your dye as well as how deeply you wish for the the fabric to be dyed.
      2. Allow the fabric to dry

      1. Begin ironing off the wax in small sections, using the newsprint underneath the fabric and also above between the fabric and iron. Only iron the wax off of sections you wish to dye next.

      1. Wax the sections that you previously dyed if you do not wish for them to be dyed another color.


      1. Repeat this process until your batik is finished

      History of Batik part 2



      Wax resist dyeing technique in fabric is an ancient art form. Discoveries show it already existed in Egypt in the 4th century BCE, where it was used to wrap mummies; linen was soaked in wax, and scratched using a sharp tool. In Asia, the technique was practised in China during the T'ang dynasty (618-907 CE), and in India and Japan during the Nara period (645-794 CE). In Africa it was originally practised by the Yoruba tribe in Nigeria, Soninke  and Wolof in Senegal.

      In Java,Indonesia, batik predates written records. G. P. Rouffaer argues that the technique might have been introduced during the 6th or 7th century from India or Sri Lanka. On the other hand, JLA. Brandes (a Dutch archeologist) and F.A. Sutjipto (an Indonesian archeologist) believe Indonesian batik is a native tradition, regions such asToraja,Flores,Halmahera,and Papua which were not directly influenced by Hinduism and have an old age tradition of batik making.

      Rouffaer also reported that the gringsing pattern was already known by the 12th century in Kediri .
      He concluded that such a delicate pattern could only be created by means of the canting  tool. He proposed that the canting was invented in Java around that time.

      Batik was mentioned in the 17th century Malay Annals. The legend goes when Laksamana Hang Nadim was ordered by Sultan Mahmud to sail to India to get 140 pieces of serasah cloth (batik) with 40 types of flowers depicted on each. Unable to find any that fulfilled the requirements explained to him, he made up his own. On his return unfortunately, his ship sank and he only managed to bring four pieces, earning displeasure from the Sultan.

      In Europe, the technique is described for the first time in the History of Java, published in London in 1817 by Sir Thomas Standford Rafless who had been a British governor for the island. In 1873 the Dutch merchant Van Rijckevorsel gave the pieces he collected during a trip to Indonesia to the ethnographic museum in Rotterdam.  The Dutch were active in developing batik in the colonial era, they introduced new innovations and prints. 

      The Gemeentemuseum, Den Haag contains artifacts from that era.
      Due to globalization and industrialization, which introduced automated techniques, new breeds of batik, known as batik cap  and batik print emerged, and the traditional batik, which incorporates the hand written wax-resist dyeing technique is known now as batik tulis (lit: 'Written Batik'). At the same time, Indonesian immigrants to Malaysia and Singapore brought Indonesian batik with them.

      Example of Batik Cap

      Rabu, 03 November 2010

      history of batik

      Even though its exact history is uncertain, fragments of batik’s projected origin dates back to the first century where it was discovered in ancient Egyptian tombs. Evidence of early Batik has also been found all over the Middle East, in India, Central Asia and Africa.


      By the nineteenth century, after the importation of more finely woven cloth from India and Europe, it became a highly accomplished art form in Java and Bali in Indonesia. Recognizable motifs, patterns and colors were developed and designed to identify one’s family, social status and geographic origin. Some experts feel that it was originally reserved for Javanese royalty on that island, and possibly a pass time of the princesses and noble ladies of the time. The word Batik seems to come from an Indonesian word 'ambatik', a cloth with little dots.
      In the seventeenth century as the world grew smaller, batiking was introduced to Holland and other parts of Europe. In the early 1900’s, batik fabrics became very fashionable in Germany. Later on, Europeans and Americans traveling and living in the East rediscovered the ancient process and brought it back to their homelands. Today, art schools across the United States offer batik courses as part of their textile curricula.
      Traditional batik, especially from Yogyakarta and Surakarta, has special meanings rooted to the Javanese conceptualization of the universe. Traditional colours include indigo, dark brown, and white, which represent the three major Hindu Gods. This is related to the fact that natural dyes are most commonly available in indigo and brown. Certain patterns can only be worn by nobility; traditionally, wider stripes or wavy lines of greater width indicated higher rank. Consequently, during Javanese ceremonies, one could determine the royal lineage of a person by the cloth he or she was wearing.

      Other regions of Indonesia have their own unique patterns that normally take themes from everyday lives, incorporating patterns such as flowers, nature, animals, folklore or people. The colours of pesisir batik, from the coastal cities of northern Java, is especially vibrant, and it absorbs influence from the Javanese, Arab, Chinese and Dutch culture. 


      UNESCO signated Indonesian batik as aMasterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity on October 2, 2009. As part of the acknowledgment, UNESCO insisted that Indonesia preserve their heritage. :-)




      Minggu, 31 Oktober 2010

      Introducing

      Let me introduce myself.My name is Laras Ayu.Just call me Laras.I am a 14 years old female and born in Jakarta.Currently living in Jakarta.I am a student in 19JHS grade 9.My hobby is shopping and that's one of my obligation.Its my second blog.I made this blog because the task TIK.On this blog,i chose the theme of batik because batik is one of Indonesian culture that should we preserve and especially i love batik. There are no words to be late and try to keep.Keep follow me :-)